Senin, 18 Mei 2009

KITA HARUS BELAJAR DARI KEBERANIAN HUGO CHAVES

Di Venezuela Perusahaan Migas Negara, PDVSA, yang selalu merugi, pada tahun 2004 berpendapatan sebesar 64,5 miliar dollar AS sebagai dampak awal Nasionalisasi. Tahun berikutnya perusahaan ini menyumbang negara sebesar 10,3 miliar dollar AS, termasuk pajak, royalti, serta program-program sosial.
Dengan selesainya sertifikasi cadangan minyak terbesarnya di Sungai Orinoco, Venezuela sekarang menjadi produsen minyak terbesar didunia setelah menambah cadangan minyaknya dari 27 miliar barrel, melampaui cadangan minyak terbesar dunia di Arab Saudi sebesar 260 miliar barrel.
Apa rahasia sukses Nasionalisasinya Chavez ? Ini bukan nasionalisasi buta, melainkan re-negosiasi yang menguntungkan negara ataupun asing meskipun porsi kepemilikan negara menjadi lebih besar mencapai 60 persen. Dengan model kerja sama ini dan dengan cadangan minyak yang cukup menjanjikan di Orinoco, wajar jika perusahaan-perusahaan asing, kecuali Exxon mobil, bisa menerima renegosiasi yang ditawarkan Chavez. Sementara itu, Exxon Mobil sebagai perusahaan swasta migas terbesar didunia yang membawa kasus ini ke abitrase internasional harus gigit jari karena- pertengahan maret 2008 - Royal Court of Justice di London memenangkan PDVSA. Keberanian Chavez melakukan renegosiasi didahului dengan penyelidikan yang mandalam. Setelah Chavez memperkenalkan undang-undang migas yang baru, dia memerintahkan kajian legal untuk menyelidiki berbagai penyimpangan dan ketidak transparan dalam pengelolaan sektor migas. Tak mudah untuk melakukannya. Perlawanan dilakukan oleh oligarki bisnis dan politik yang waktu itu menguasai PDVSA. Mereka bahkan mendalangi kudeta militer sayap kanan terhadap Chavez tanggal 11 April 2002.

KAJIAN LEGAL.
Hasil kajian legal tentang bisnis perminyakan menyingkap praktek pengelolaan migas yang sangan merugikan negara, tapi sangat menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional. Mulai dari regulasi hingga operasi.
Pertama, pembajakan substansi undang-undang. Ditemukan upaya sistematik untuk memutar balikkan substansi dari berbagai undang-undang dan regulasi migas di venezuela. Kontrol negara atas migas dipreteli. Negara bahkan tidak harus memiliki saham sama sekali.
Kedua, penghilangan peras negara dalam penetapan harga. Negara bukan saja tidak punya kontrol atas harga, tetapi juga terhadap penilaian atas royalti dan pajak pendapatan yang manjadi hak negara.
Ketiga, penghilangan potensi pemasukan bagi negara dengan dalih privatisasi. Dengan alasan internasionalisasi dan privatisasi, dilakukan akuisisi terhadap sejumlah sistem penyulingan minyak internasional, khususnya Citgo di AS pada tahun 1986. Namun yang terjadi adalah kepemilikan yang menyulitkan negara untuk mengetahui berapa besara hak yang seharusnya diperoleh.
Bersembunyi dibalik "Rahasia Perusahaan" berbagai keanehan terjad, mulai dari diskon terhadap harga minyak mentah, penghapusan royalti negara karena adanya diskon tadi, hingga penggunaan pendapatan dari ekspor minyak sebagai jaminan atas hutang yang dimiliki anak perusahaan PDVSA (Citgo).
Lalu, sejak tahun 1989 PDVSA mengonsolidasikan rekening-rekeningnya dengan basis global yang mengakibatkan semua biaya "internasionalisasi"dijadikan alasan agar dapat mengurangi pajak pendapatan bagi negara. Singkatnya, Opporunity Cost yang dihibahkan PDVSA bagi mitra-mitra asingnya mencapai 1,03 dollar AS perbarrel atau setara total pada tahun 2004 mencapai 11,4 miliar dollar AS.
Keempat, manipulasi izin operasional perusahaan-perusahaan jasa perminyakan. Perusahaan jasa biasa, misalnya, kemudian dijadikan produsen minyak.
Kelima, keganjilan penyelenggaraan out sourcing. Semula untuk penyelolaan ladang-ladang minyak yang kurang produktif, tetapi belakangan diperlebar ke ladang-ladang yang masih aktif.
Sebagai ilustrasi, pada tahun 2003, jasa yang harus dibayarkan kepada perusahaan-perusahaan kontraktor ini rata-rata 18,17 dollar AS perbarrel atau mencapai 52% dari harga jual minyak vezuela pada saat itu. Padahal, jika melakukan sendiri, PDVSA hanya perlu biaya sekitar 4 dollar perbarrel !
Keenam, ketidakadilan perjanjian kerja sama. Perjanjian kerjasama, Khususnya dalam mengelola minyak mentah di Orinoco, menempatkan PDVSA yang minoritas, royalti yang seharusnya diterima negara pun ditekan dari 16,3 persen menjadi tinggal 1 persen dan pajak pendapatnya pun sama dengan pajak nonminyak yang hanya sebesar 34 persen.
Ketujuh, sabotase sistematik dokumen-dokumen perjanjian kerja sama. Dua buah proyek dalam perjanjian kerja sama. Dua buah proyek dalam perjanjian kerja sama yang ditandatangani tahun 1993 adalah Sincor dan Petrozuata. Rekanan dalam proyek sincor adalah Total saham 47 persen. Statoil (15persen) dan PDVSA (38persen). Sementara dalam petrozuata, conoco philip memegang 50,1 persen dan PDVSA memegang sisanya sebesar 49,9 persen.
Dalam proyek sincor semestinya produksi yang diizinkan hanya 114.000 barrel perhari, tatapi kenyataannya 210.000-250.000 barrel perhari. Selain itu, luas wilayah eksploitasi yang semestinya 250 kelometer persegi dengan jumlah cadangan minyak sebesar 1,2 miliar barrel telah diperluas secara ilegal menjadi 324 kilometer persegi dengan jumlah cadangan sebesar 2,5 miliar barrel. Ini pun dengan rencana lanjutan untuk memperluas lagi dengan tambahan wilayah eksploitasi 170 kilometer persegi.
Berbagai resep kerja sama canggih yang ditawarkan mitra-mitra asing PDVSA bermuara pada dua kerugian utama negara, yakni (1) terkurasnya sumber daya alam yang tak terbarukan, dan (2) hilangnya potensi pendapatan negara dari sisi fiskal berupa royalti, pajak pendapatan, pajak ekspor, serta dividen.
Kini, pendapatan dari bidang migas di Venezuela sudah transparan. Kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan rakyatpun diperjelas. PDVSA bahkan sekarang berhasil menjadi perusahaan migas nomor tiga terbesar didunia (setelah Exxon dan Chevron) dan menawarkan minyak murah untuk kebutuhan warga miskin di New York, Alaska dan London.
Sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Apa yang dialami perusahaan migas Venezuela PDVSA dimasa lalu adalah yang sekarang dialami perusahaan migas Indonesia Pertamina dan BUMN-BUMN lainnya. Kita bisa jika kita pikir bisa, Pemimpin kita harus menghilangkan sifat munafik seolah-olah bekerja buat rakyat kesejahteraan rakyat padahal membodohi rakyat demi tetap berkuasa. Mengatasnamakan NKRI padahal Ngutang Ke luaR negerI agar tampak berbudi. Rakyat Indonesia harus Revolusi agar misi mensejahterakan negeri bisa benar-benar terjadi, agar tidak hanya menjadi cerita fiksi ditangan politisi-politisi basi.

Minggu, 17 Mei 2009

Demokrasi Lingkungan dan Kesejahteraan Rakyat (ICEL)

Jenuh sekali apabila melihat perdebatan “orang-orang tua” mengenai korelasi antara demokrasi dengan kesejahteraan rakyat. Perdebatan ini dimulai dengan ungkapan bahwa demokrasi hanyalah alat untuk mencapai kesejahteraan. Dalam posisi awal seperti ini, timbul semacam pandangan utilitarian bahwa cara apapun bisa digunakan untuk mencapai kesejahteraan yang diidamkan oleh rakyat – kebahagiaan, meskipun tidak melalui demokrasi. Bagi masyarakat yang skeptis (dan putus asa), maka mereka akan merasa bahwa demokrasi yang dijanjikan 10 tahun yang lalu oleh Reformasi, belum memberikan kontribusi yang signifikan. Semenjak Pemilu dan 290 Pilkada (sampai Desember 2006 – LSI, 2007) yang diselenggarakan di Indonesia, Human Development Index Indonesia masih berada di peringkat 107 dari 177 negara (UNDP, 2007).
Kita kalah dengan Vietnam yang berhasil naik 4 peringkat dari tahun sebelumnya sehingga berada di peringkat 105. Perlu dicatat, Vietnam masih berada dalam rezim otoriter, hanya ada satu partai yakni partai sosialis republik mereka. Jika dibandingkan dengan Indonesia, ada 24 Partai Politik pada Pemilu 2004 dan belum ditambah mereka yang ingin berlomba di Pemilu 2009 mendatang. Akhirnya timbul pertanyaan, apakah demokrasi yang dijanjikan itu memang betul bisa membawa kesejahteraan
Kondisi yang sebetulnya sudah terlihat sangat jelas adalah bahwa sejarah sudah memberikan pelajaran bagaimana rezim pemerintahan yang otoriter dan tertutup tidak akan membawa kesejahteraan rakyat yang riil. Meskipun Orde Baru telah memberikan kontribusi terhadap pembangunan, namun pembangunan tersebut tidak menyeluruh karena terpusat kepada sistem birokrasi yang sarat dengan korupsi dan tidak berintegritas.

Masyarakat tidak perlu berkecil hati, patokan untuk demokrasi tidak dilihat dari berapa banyak
partai dan berapa banyak pilkada yang sudah diselenggarakan karena ini hanyalah aspek prosedural dari demokrasi. Demokrasi secara substansial, pemenuhan hak masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam pemerintahan, masih belum dilaksanakan. Singkat kata, suara rakyat masih belum didengarkan, terutama dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan lingkungan hidup.

Pembangunan ekonomi di Indonesia masih sangat bergantung pada sumber daya alam (resource based economy), sementara itu kondisi empiris menyatakan bahwa pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia masih belum optimal dalam peningkatan pendapatan nasional dan peningkatan kesejahteraan rakyat (Bappenas, 2004). Hal ini karena demokrasi ekonomi yang dijanjikan dalam Pasal 33 UUD 1945 belum terlaksanakan; rakyat tidak diikutsertakan dalam penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di Indonesia. Sebaliknya, justru rakyat yang terkena dampak negatif pengelolaan sumber daya alam yang tidak transparan.

Ketika negara menjadi pihak dalam suatu perjanjian pengelolaan sumber daya alam – seperti Kontrak Karya pertambangan, Production Sharing Contract minyak dan gas bumi, bahkan Hak Pengelolaan Hutan – apakah kepentingan rakyat hilang karena dianggap sudah diwakili oleh Pemerintah? Seperti pasien yang mempunyai hak informed consent dari seorang dokter, seharusnya hal serupa juga berlaku bagi masyarakat untuk berhak mengetahui seluk beluk dari rencana pengambilan kebijakan dari Pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini karena segala hal yang berkaitan dengan kebijakan Pemerintah, yang langsung mendapatkan dampaknya adalah masyarakat.

Kepentingan rakyat dan pemerintah ini sepatutnya dijembatani oleh prinsip demokrasi lingkungan, yakni pemenuhan hak publik atas informasi, hak publik untuk berpartisipasi, dan hak publik terhadap keadilan dalam pengambilan kebijakan lingkungan. Pada dasarnya suatu proses pembuatan keputusan dan proses bagaimana keputusan diimplementasikan di berbagai tingkat pemerintahan harus memenuhi tiga prinsip tadi agar tercapai keseimbangan antara kepentingan pembangunan ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan yang tentunya berdampak pada manusia.

Demokrasi lingkungan bukan hal yang baru karena Indonesia sudah mengambil komitmen ini pada saat Deklarasi Rio di tahun 1992 dan World Summit on Sustainable Development di tahun 2002. Tetapi kondisi empiris berkata lain karena komitmen untuk melaksanakan demokrasi lingkungan ini belum sampai di tahap pelaksanaan yang benar-benar serius. Contohnya, apakah akan ada kasus lingkungan seperti lumpur panas di Sidoarjo apabila rakyat setempat mempunyai kesempatan terlebih dahulu untuk mengetahui dampak suatu proyek gas bumi di sana?

Seandainya informed consent terhadap proyek-proyek seperti itu diberikan kepada masyarakat, bencana lingkungan (yang terutama karena kelalaian manusia) akan lebih mudah dihindarkan. Biaya yang dikeluarkan untuk mitigasi suatu bencana akan jauh lebih berguna apabila bencana tersebut dihindari dan biaya tersebut digunakan untuk investasi dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat. Demokrasi per se tidak cukup untuk menjadi jaminan peningkatan kesejahteraan, namun bagaimana kita menjalankan demokrasi tersebut yang bisa menentukan peningkatan kesejahteraan tadi.

Demokrasi lingkungan tidak hanya butuh komitmen dari Kementerian Lingkungan Hidup tetapi juga dari Lembaga-Lembaga Pemerintah dan Departemen-Departemen lainnya, seperti Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Kehutanan, dsb. Saat ini pun urgensinya tidak hanya untuk pengelolaan sumber daya alam di Indonesia saja, namun bisa untuk menghindari bencana lingkungan global, yakni perubahan iklim. Bappenas di sini bisa mengambil langkah untuk menjalankan prinsip demokrasi lingkungan dalam menentukan arah kebijakan makro yang ramah terhadap perubahan iklim (climate friendly laws). Tidak hanya itu, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai peran penting dalam menjalankan fungsi budgeting mereka dalam melakukan alokasi APBN yang memprioritaskan masyarakat marginal yang akan terkena dampak langsung dari perubahan iklim; para petani dan nelayan kita yang mendambakan kesempatan untuk bisa memajukan diri mereka sendiri.

Saya, sebagai generasi muda, justru heran mengapa orang-orang berdebat tentang penting atau tidaknya demokrasi. Saya lebih heran lagi ketika orang-orang yang berdebat itu adalah mereka yang dipilih melalui sistem demokrasi itu sendiri. Pak, Bu, tidak ada waktu yang lebih baik daripada saat ini untuk menjalankan komitmen terhadap rakyat, khususnya komitmen dalam mengambil kebijakan lingkungan yang pro masyarakat marginal.

Jumat, 15 Mei 2009

PILPRES x OLD PLAYER = PILKOPLO.

Sudah dipastikan 3 pasangan Capres dan Cawapres resmi mendaftarkan diri ke KPU untuk bersaing di Pemilu Presiden Juli mendatang. Susilo Bang Yudoyono berpasangan dengan Budiono, Jusuf Kalla dengan Wiranto serta Megawati dengan Prabowo. Hampir dipastikan semua adalah muka-muka lama dengan prestasi kepemimpinan yang biasa-biasa aja untuk negeri ini malah bisa dikatakan bobrok. Mereka dan mereka lagi, tidakkah negeri ini punya alternatif calon pemimpin selain beliau-beliau ini. Indonesia membutuhkan kepemimpin yang punya gerak cepat sekelas Obama, sesederhana Lugo fernando dan seberani Hugo Chavez. Bukan pemimpin yang selama ini hanya tebar pesona, jaim, lips service dan janji-janji Meriam Bellina ( Janji hanya tinggal janji). 3 tahun kepemimpinan mega bersama kita lihat belum ada yang bisa diperbuat untuk menata negeri ini. Lima tahun kepemimpinan SBY Indonesia biasa-biasa aja, walaupun ada pemberantasan korupsi, perubahan anggaran dan sistem pendidikan, keamanan. Namun kesejahteraan masyarakat masih jauh panggang dari api karena masih tingginya angka kemiskinan, mahalnya sembako, sempitnya lapangan kerja dan masih bobroknya sistem administrasi pemerintahan serta masih maraknya pungli. Kalau katanya pendidikan menjadi gratis dan murah masih lebih mahal dibanding era Soeharto. Pelayanan Kesehatan masih centang prenang. Naiknya gaji pegawai dan guru tidak sebanding dengan biaya hidup yang mahal pada saat ini. Semua program dikemas seolah-olah pro-rakyat namun sebenarnya hanya untuk melanggengkan kekuasaan. Yusuf Kalla, merupakan orang yang teramat ambisius. Dari turunnya perolehan suara golkar dan pecahnya golkar mutlak adalah kesalahan yusuf Kalla yang lebih mementingkan ambisi pribadi dari pada kepentingan partai. Seorang pemimpin harus istiqomah dan percaya diri dan Yusuf Kalla jauh dari sifat ini. Jadi hanya inilah alternatif pemimpin yang akan kita pilih dengan cawapres - except Budiono - yang trek recordnya buruk pada masa lalu ( gak usah dibahas kita sudah sama-sama tahu). Khusus Budiono beliau ini bukan seorang politikus, beliau merupakan rekomendasi para penganut neo-liberalisme agar barat dan sekutunya mendukung pemerintahan SBY yang akan datang. Untuk merubah Indonesia yang harus merubah sistem, sistem di Indonesia di format untuk membodohi rakyat bukan untuk mendidik masyarakat memahami politik dan makna demokrasi yang sebenarnya. Sistem yang sekarang hanya akan melahirkan pemimpin yang ambigu, yang mengangkat penderitaan rakyat untuk menaikkan populeritas jauh dari maksud untuk mengentaskannya. Reformasi di Indonesia harus dimulai dari sistem, sistem yang dibuat harus menjadikan seorang maling bisa menjadi amanah bukan malah sebaliknya seperti sistem kita saat ini yang menjadikan seorang yang amanah menjadi maling. Pemilu Presiden kali ini laksana menelan pilkoplo, eporia sesaat kemudian loyo.

Kamis, 14 Mei 2009

TERPILIHNYA BUDIONO SEBAGAI WAPRES SBY. MENEGASKAN PEMERINTAH SEBAGAI ORDE BARU JILID II

Secara resmi Jum,at malam 15 Mei 2009, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) mendeklarasikan diri berpasangan dengan Budiono sebagai Capres dan Cawapres untuk maju pada PilPres 2009. Dengan dipilihnya oleh SBY Budiono sebagai Pasangannya mengindikasikan bahwa SBY lebih ingin sistem ekonomi neo-liberalisme terakomodasi di Indonesia dari pada Pada paham ekonomi yang termaktub dalam UUD 45 Pasal 33. Dengan terakomodasi sistem ekonomi neo-liberal di Indonesia secara otomatis pemerintahan SBY akan didukung oleh barat dan sekutu-sekutunya yang memiliki kepentingan dengan kekayaan alam Indonesia. Kalau pada masa Orde Lama, Soeharto dan pemerintahannya didukung oleh barat karena Soeharto dijadikan boneka barat untuk menghambat perkembangan faham komunis diIndonesia khususnya dan Asia Tenggara pada umumnya. Dan Isu Komunisme menjadi propaganda barat untuk mengeksploitasi sebuah negara dan kekayaan alamnya. Dengan gelontoran hutang yang luar biasa dari IMF, CGI, Bank Dunia sebagai kaki tangan barat. Soeharto mengemas pemerintahan dengan menekan domokrasi untuk menghambat paham-paham yang berbau komunis dan menerapkan subsidi yang demikian besar pada Rakyat dengan uang pinjaman luar negeri. Setelah barat tidak lagi menganggap Ideologi komunis sebagai suatu ancaman. Isu demokrasi, Hak Azasi dan Sistem ekonomi Neo Liberal menjadi Propaganda barat untuk Mengeksploitasi suatu negara dan Kekayaan alamnya. Soeharto yang merupakan pemain lama tidak lagi dianggap sesuai untuk memainkan propaganda itu di Indonesia, karena Soeharto pada pemerintahannya tidak demokratis dan banyak terlibat kasus pelanggaran HAM. Selain itu diakhir-akhir kejatuhan pemerintahannya Soeharto terlihat mesra dengan tokoh-tokoh muslim di Indonesia dan akomodatif terhadap kepentingan muslim. Krisis ekonomi regional yang imbasnya mengguncang prekonomian nasional menjadi momentum barat untuk menjatuhkan tahta soeharto dengan menghadirkan isu reformasi. Reformasipun terjadi dengan Lengsernya Soeharto, namun reformasi kita adalah reformasi yang dikangkangi barat dengan memanfaatkan status quo yang terjadi. Persaingan elit politik untuk mengambil kekuatan seirama dengan lambatnya penanganan krisis yang terjadi, betul-betul dimanfaatkan pihak barat untuk menempatkan bonekanya pada moment yang paling pas. Pemilu 2004 adalah momentnya, telah jenuhnya masyarakat dengan krisis yang terjadi dan persaingan ditingkat elit yang tidak berkesudahan, barat menciptakan sosok SBY untuk membuat perubahan dimana perubahan itu nantinya bisa sedikit membawa perubahan pada masyarakat dan memberikan keuntungan bagi kepentingan barat di Indonesia. Pasca Pemilu 2004 dan terpilihnya SBY sebagai presiden mulailah barat kembali memainkan perannya di Indonesia. Pada pemerintahan SBY tak ubahnya juga seperti eranya Soeharto, Kalau di era Soeharto untuk menenangkan rakyat beliau memberikan subsidi dan membangun proyek-proyek dari hasil Hutang. Pemerintahan SBY memberikan BLT, PNPM, Peningkatan anggaran pendidikan dan kesejahteraan pegawai dari dana Hutang. Kalau dulu suharto meniupkan isu suversip untuk membersihkan jati dirinya. SBY meniupkan isu korupsi untuk membersihkan dirinya. Pada hal yang kita rasakan masihlah sama. Kalaulah katanya uang negara telah sekian milyar terselamatkan dari hasil penanganan kasus korupsi. Sekalipun pemerintah tidak pernah berinisiatip memperbaiki institusinya terhadap pungli-pungli masih marajalela di Indonesia. Kalau dihitung hitung lebih banyak uang rakyat yang dikorup dari pengurusan KTP, Akta Nikah, Akta cerai, SIM, PasPort, tender proyek, Razia lalu lintas Fiktif, Pajak, Pengurusan BPKB/STNK, dan pengurusan lain di Institusi pemerintahan akibat pungli ketimbang uang negara yang terselamatkan dari kasus korupsi tadi. Dibanding era Soeharto, Hutang kita jauh lebih Besar...untuk apa, untuk mempermulus jalan SBY mendanai program-program yang pro rakyat yang akhirnya akan menyengsarakan rakyat Indonesia sendiri. Ekonomi kita diarahkan pada konsep mekanisme pasar, termasuk di dunia pendidikan. Kontrak-kontrak dengan perusahaan asing yang sangat merugikan negara gak akan pernah diperbaharui, malah diyakini kedepan pasti makin banyak BUMN-BUMN yang diprivatisasi. Kita harus memilih pemimpin kita yang sederhana dan heroik yang menempatkan perjuangan kepada rakyat sebagai pemilik yang sah atas ekonomi dan semua kekayaan alam jauh lebih penting dan berharga dari pada hanya sekedar menempatkan dirinya sebagai Presiden yang didikte oleh kebijakan barat. Jauh dari sekedar mengganti tradisi kepemimpinan negerinya yang selama ini dikuasai oleh orang-orang Korup. Mewahnya acara deklari pasangan SBY BERBUDI yang dipoles layaknya deklarasi ala Obama, tidak mencerminkan sikap empati pada penderitaan rakyat, bermewah-bermewah padahal kompetisi belum lagi dimulai. Untuk ukuran Indonesia hanya pejabat yang pencuri yang bisa melakukan acara semewah itu dan memuat iklan tebar pesona di media.-media Apa yang dilakukan SBY sekali lagi, mirip trik serupa di masa kejayaan Soeharto untuk merebut simpati rakyat. Seharusnya Pemimpin Indonesia harus bersikap seperti presiden Paraguay Lugo Fernando yang sederhana namun berjiwa patriotik untuk membebaskan rakyatnya dari kemiskinan. Dan harus seberani Presiden Venezuela Hugo Chavez yang tidak mau didikte oleh barat dan melakukan Peninjauan kontrak karya dengan perusahaan asing terhadap pengelolaan minyak. Sehingga Negaranya bisa memiliki saham minimal 60% di setiap perusahaan minyak sehingga menempatkan negaranya memilikia cadangan minyak terbesar mengalahkan timur tengah...luar biasa !. Untuk Indonesia tunggu satu generasi yang akan datang setelah orang-orang tua renta yang lagi berebut kekuasaan saat disembahyangkan oleh pelayatnya.

Sabtu, 09 Mei 2009

KASUS ANTASARI AZHAR, SARAT KONSPIRASI

Sudah selayaknya selaku warga negera turut prihatin terhadap kasus yang di alami Antasi Azhar Ketua KPK non aktif. Baru saja kita rasanya berbangga diri dengan sosok Antasari yang begitu berani untuk mengungkapkan berbagai kasus korupsi dinegeri ini namun terakhir kita harus kecewa karena sosok yang kita banggakan akhirnya ikut cek in ke hotel prodeo sebagai tersangka kasus pembunuhan. Beliau dituduhkan melakukan pembunuhan berencana karena terlibat kasus asmara dengan seorang gadis pengutip bola golf (caddy) istri siri seorang Direktur BUMN Nazrudin Zulkarnain. Ada apa dengan Antasari, apakah hanya karena seorang perempuan sanggup melakukan pembunuhan. Saya kira mustahil...asmara memang (kalaupun ini benar ) terjadi namun latar belakang pembunuhan Nazrudin bukanlah berlatar belakang itu. Asmara beliau dengan Rani (kalaupun ada) hanya merupakan blow up semu untuk menutupi konspirasi besar yang melatar belakangi Pembunuhan itu. Saya punya analisa bahwa ada sekelompok orang yang merasa terancam jika
KPK yang di ketua Antasai terus eksis untuk mengungkap kasus korupsi di Indonesia. Terutama kasus-kasus besar yang melibatkan kelembagaan yang ada di Indonesia semisal BI dan DPR. Konspirasi besar untuk memandulkan KPK dan Membunuh karakter seorang antasari bisa ditelusuri dari :

1. Kasus Korupsi di tubuh RNI yang lagi diproses KPK diyakini melibatkan tidak hanya pada Jajaran Pengelola RNI namun bisa menyeret orang penting di negeri ini, krn ada kemungkinan RNI turut memberikan dana kampanye pada salah satu Pasangan calon Presiden pada Pilpres 2004.
2. Terseretnya Jaksa-Jaksa senior di Kejaksaan agung dalam kasus korupsi oleh KPK yang Antasari sebagai Ketuanya yang nota bene adalah mantan Pejabat di institusi cukup menimbulkan rasa sakit hati bagi Para Jaksa.
3. Makin dalamnya pengungkapan kasus BANK INDONESIA diyakini bisa kembali mengungkap kasus BLBI. Jika Kasus BLBI berhasil diungkap KPK dipastikan bakal banyak Pejabat BI, Pejabat Negara, Pengusaha dan Anggota Dewan yang bakal Cek in ke Hotel Prodeo. Inilah yang saya yakini sumber Konspirasi itu. Semoga cepat atau lambat bisa terungkap jelas.