Senin, 18 Mei 2009

KITA HARUS BELAJAR DARI KEBERANIAN HUGO CHAVES

Di Venezuela Perusahaan Migas Negara, PDVSA, yang selalu merugi, pada tahun 2004 berpendapatan sebesar 64,5 miliar dollar AS sebagai dampak awal Nasionalisasi. Tahun berikutnya perusahaan ini menyumbang negara sebesar 10,3 miliar dollar AS, termasuk pajak, royalti, serta program-program sosial.
Dengan selesainya sertifikasi cadangan minyak terbesarnya di Sungai Orinoco, Venezuela sekarang menjadi produsen minyak terbesar didunia setelah menambah cadangan minyaknya dari 27 miliar barrel, melampaui cadangan minyak terbesar dunia di Arab Saudi sebesar 260 miliar barrel.
Apa rahasia sukses Nasionalisasinya Chavez ? Ini bukan nasionalisasi buta, melainkan re-negosiasi yang menguntungkan negara ataupun asing meskipun porsi kepemilikan negara menjadi lebih besar mencapai 60 persen. Dengan model kerja sama ini dan dengan cadangan minyak yang cukup menjanjikan di Orinoco, wajar jika perusahaan-perusahaan asing, kecuali Exxon mobil, bisa menerima renegosiasi yang ditawarkan Chavez. Sementara itu, Exxon Mobil sebagai perusahaan swasta migas terbesar didunia yang membawa kasus ini ke abitrase internasional harus gigit jari karena- pertengahan maret 2008 - Royal Court of Justice di London memenangkan PDVSA. Keberanian Chavez melakukan renegosiasi didahului dengan penyelidikan yang mandalam. Setelah Chavez memperkenalkan undang-undang migas yang baru, dia memerintahkan kajian legal untuk menyelidiki berbagai penyimpangan dan ketidak transparan dalam pengelolaan sektor migas. Tak mudah untuk melakukannya. Perlawanan dilakukan oleh oligarki bisnis dan politik yang waktu itu menguasai PDVSA. Mereka bahkan mendalangi kudeta militer sayap kanan terhadap Chavez tanggal 11 April 2002.

KAJIAN LEGAL.
Hasil kajian legal tentang bisnis perminyakan menyingkap praktek pengelolaan migas yang sangan merugikan negara, tapi sangat menguntungkan perusahaan-perusahaan multinasional. Mulai dari regulasi hingga operasi.
Pertama, pembajakan substansi undang-undang. Ditemukan upaya sistematik untuk memutar balikkan substansi dari berbagai undang-undang dan regulasi migas di venezuela. Kontrol negara atas migas dipreteli. Negara bahkan tidak harus memiliki saham sama sekali.
Kedua, penghilangan peras negara dalam penetapan harga. Negara bukan saja tidak punya kontrol atas harga, tetapi juga terhadap penilaian atas royalti dan pajak pendapatan yang manjadi hak negara.
Ketiga, penghilangan potensi pemasukan bagi negara dengan dalih privatisasi. Dengan alasan internasionalisasi dan privatisasi, dilakukan akuisisi terhadap sejumlah sistem penyulingan minyak internasional, khususnya Citgo di AS pada tahun 1986. Namun yang terjadi adalah kepemilikan yang menyulitkan negara untuk mengetahui berapa besara hak yang seharusnya diperoleh.
Bersembunyi dibalik "Rahasia Perusahaan" berbagai keanehan terjad, mulai dari diskon terhadap harga minyak mentah, penghapusan royalti negara karena adanya diskon tadi, hingga penggunaan pendapatan dari ekspor minyak sebagai jaminan atas hutang yang dimiliki anak perusahaan PDVSA (Citgo).
Lalu, sejak tahun 1989 PDVSA mengonsolidasikan rekening-rekeningnya dengan basis global yang mengakibatkan semua biaya "internasionalisasi"dijadikan alasan agar dapat mengurangi pajak pendapatan bagi negara. Singkatnya, Opporunity Cost yang dihibahkan PDVSA bagi mitra-mitra asingnya mencapai 1,03 dollar AS perbarrel atau setara total pada tahun 2004 mencapai 11,4 miliar dollar AS.
Keempat, manipulasi izin operasional perusahaan-perusahaan jasa perminyakan. Perusahaan jasa biasa, misalnya, kemudian dijadikan produsen minyak.
Kelima, keganjilan penyelenggaraan out sourcing. Semula untuk penyelolaan ladang-ladang minyak yang kurang produktif, tetapi belakangan diperlebar ke ladang-ladang yang masih aktif.
Sebagai ilustrasi, pada tahun 2003, jasa yang harus dibayarkan kepada perusahaan-perusahaan kontraktor ini rata-rata 18,17 dollar AS perbarrel atau mencapai 52% dari harga jual minyak vezuela pada saat itu. Padahal, jika melakukan sendiri, PDVSA hanya perlu biaya sekitar 4 dollar perbarrel !
Keenam, ketidakadilan perjanjian kerja sama. Perjanjian kerjasama, Khususnya dalam mengelola minyak mentah di Orinoco, menempatkan PDVSA yang minoritas, royalti yang seharusnya diterima negara pun ditekan dari 16,3 persen menjadi tinggal 1 persen dan pajak pendapatnya pun sama dengan pajak nonminyak yang hanya sebesar 34 persen.
Ketujuh, sabotase sistematik dokumen-dokumen perjanjian kerja sama. Dua buah proyek dalam perjanjian kerja sama. Dua buah proyek dalam perjanjian kerja sama yang ditandatangani tahun 1993 adalah Sincor dan Petrozuata. Rekanan dalam proyek sincor adalah Total saham 47 persen. Statoil (15persen) dan PDVSA (38persen). Sementara dalam petrozuata, conoco philip memegang 50,1 persen dan PDVSA memegang sisanya sebesar 49,9 persen.
Dalam proyek sincor semestinya produksi yang diizinkan hanya 114.000 barrel perhari, tatapi kenyataannya 210.000-250.000 barrel perhari. Selain itu, luas wilayah eksploitasi yang semestinya 250 kelometer persegi dengan jumlah cadangan minyak sebesar 1,2 miliar barrel telah diperluas secara ilegal menjadi 324 kilometer persegi dengan jumlah cadangan sebesar 2,5 miliar barrel. Ini pun dengan rencana lanjutan untuk memperluas lagi dengan tambahan wilayah eksploitasi 170 kilometer persegi.
Berbagai resep kerja sama canggih yang ditawarkan mitra-mitra asing PDVSA bermuara pada dua kerugian utama negara, yakni (1) terkurasnya sumber daya alam yang tak terbarukan, dan (2) hilangnya potensi pendapatan negara dari sisi fiskal berupa royalti, pajak pendapatan, pajak ekspor, serta dividen.
Kini, pendapatan dari bidang migas di Venezuela sudah transparan. Kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan rakyatpun diperjelas. PDVSA bahkan sekarang berhasil menjadi perusahaan migas nomor tiga terbesar didunia (setelah Exxon dan Chevron) dan menawarkan minyak murah untuk kebutuhan warga miskin di New York, Alaska dan London.
Sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin. Apa yang dialami perusahaan migas Venezuela PDVSA dimasa lalu adalah yang sekarang dialami perusahaan migas Indonesia Pertamina dan BUMN-BUMN lainnya. Kita bisa jika kita pikir bisa, Pemimpin kita harus menghilangkan sifat munafik seolah-olah bekerja buat rakyat kesejahteraan rakyat padahal membodohi rakyat demi tetap berkuasa. Mengatasnamakan NKRI padahal Ngutang Ke luaR negerI agar tampak berbudi. Rakyat Indonesia harus Revolusi agar misi mensejahterakan negeri bisa benar-benar terjadi, agar tidak hanya menjadi cerita fiksi ditangan politisi-politisi basi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar