Rabu, 06 Januari 2010

MENDEMOKRATISASI NEGARA

DEMOKRASI bukanlah tujuan akhir, demokrasi hanya sebagai tangga menuju kesejahteraan sosial, demikian kalimat John Markof dalam bukunya gelombang demokrasi di dunia. Di Indonesia, sejarah demokrasi mengalami pasang surut. Sejak kepemimpinan Soekarno presiden pertama RI, demokrasi pernah dipraktekkan namun tidak berusia panjang, dan suatu pengklaiman hanya sebagai uji coba. Lebih lagi pada masa sesudahnya, Orde baru menghilangkan demokrasi itu dari peredarannya dalam setiap ranah publik dan diganti dengan “demokrasi senjata”. Tetapi rezim yang menggantikan kedua orde tersebut pada era reformasi mengkampanyekan platform sistem pemerintahan yang berfundasi pada nilai-nilai demokrasi bahkan melakukan kampanye publik untuk mencegah sistem otoritarianisme. Sayangnya, demokrasi sebagai platform tersebut tidak dipraktekkan sepenuhnya. Reformasi dijalankan setengah hati dan demokrasi dijalankan secara mengambang.

Ada beberapa trajektori demokrasi yang bisa dipetik dalam mendemokratisasikan negara.

Pertama; demokratisasi dari atas. Demokrasi yang dimainkan oleh elit berkuasa dengan segala inisiatifnya melakukan proses demokratisasi. Tentu saja, prilaku elit dalam konteks itu bersikap merakyat, bertanggungjawab kepada konstituen “rakyat”, transparan dalam menjalankan roda kekuasaan, rule of law, birokrasi inklusif dalam aspek politik rakyat “partisipasi” dan tidak bersikap sembrono dalam mempermainkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan atau jauh dari kecendrungan oligarki.

Kedua: demokratisasi dari samping, yang diperankan oleh lembaga perwakilan rakyat. Fungsi-fungsi formal dengan melakukan pengawasan terhadap kontrak politik atau berbagai kesepakatan dalam berbagai bentuk peraturan, legislasi dan lain sebagainya.

Ketiga: demokratisasi dari bawah, yang diperankan oleh berbagai kelompok atau organisasi, baik itu organisasi politik, sosial, kelompok universitas, maupun oraganisasi ekonomi.

Secara empirik jalur mendemokratisasikan negara “melalui elit” tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam konteks kemajuan demokratisasi. Demokrasi hanya menghasilkan kebebasan pemerintahan tanpa menghiraukan proses politik modern dengan meletakkan fundasi kebijakan pada kebangkitan ekonomi rakyat dan kedaulatan warga. Politik sentrifugal yang dimulai sejak kejatuhan soeharto pun, hanya dimanfaatkan oleh segelitir orang di daerah, sementara masyarakat miskin, nelayan, petani dan buruh jauh dari proses itu. Liberalisasi politik yang sudah dimulai sejak 8 tahun lalu, diterkam oleh proses kompetisi yang tidak seimbang dan didukung dengan bad governance. Sehingga rakyat tetap tereliminasi dalam proses liberalisasi itu. Misalnya; rakyat miskin kota di daerah, nelayan dan buruh yang masih berserakan. Selain itu, praktek “politik berdinding” yang sering di adopsi oleh elit di tingkat lokal tidak memacu bagi tumbuhnya proses demokratisasi yang lebih bermanfaat bagi kaum marjinal tersebut. Sebaliknya, liberalisasi itu memunculkan kemenangan kelas menengah.

Melihat hal tersebut, tidak sulit untuk menuding bahwa proses demokratisasi melalui jalur dari atas, tidak efektif. Secara empirik dari kegagalan itu terlihat dalam berbagai serangkaian kebijakan pemerintah dan praktek kekuasaan yang buruk serta memicu munculnya berbagai KKN di semua sektor urusan pemerintah. Di daerah, munculnya perda-perda yang bermasalah dan mengakomodasi kepentingan neoliberal.

Selain itu, problem politik yang cukup memprihatinkan lagi dalam konteks demokratisasi adalah peran lembaga demokrasi perwakilan yang tidak efektif dalam melahirkan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan good governance. Lemahnya proses demokratisasi dari samping tersebut juga membawa pengaruh bagi krisis pemerintahan dengan munculnya berbagai penyakit seperti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan birokrasi yang omnipotent. Selain itu pula, pukulan yang amat mematikan bagi lembaga demokrasi perwakilan itu adalah masalah internal lembaga perwakilan dengan kapasitas personil wakil rakyat yang terbatas dan korupsi yang berjemaah dalam lembaga ini. Akhirnya berbuntut delegitimasi kepada kedua lemba tersebut yang membuat demokratisasi tidak efektif dan bahkan mempengaruhi bagi konsolidasi demokrasi.

Untuk mendemokratisasikan negara mungkin merupakan ide yang kolot. Karena mungkin bagi banyak kalangan bahwa negara memiliki otoritas yang luar biasa dalam membawa arah perubahan. Atau bahkan ada anggapan bahwa negara lebih mengerti dan lebih memahami bagaimana cara merubah masyarakat. Pandangan ini tentu saja, di anggap melecehkan kedaulatan rakyat karena tidak meletakkan kekuatan rakyat sebagai salah satu kekuatan politik yang mampu merubahan negara. Gerakan rakyat untuk membuat negara lebih reflektif, demokratis dan melaksanakan tata kepemerintahan yang lebih baik.

Hal tersebut tentu saja berawal prosek demokrasi yang kian mengalami kemerosotan hingga banyak penduduk atau kelompok tidak mempraktekkan demokrasi itu sendiri. Hingga demokrasi itu dibenci, bahkan mencaci-maki politisi yang sering berbicara demokrasi tapi formalin. Kemerosotan demokrasi di Indonesia dipicu oleh budaya birokrasi orde baru yang bangkit kembali dan melekat pada politisi reformis.

KKN yang terus-menerus muncul dalam setiap periode kekuasaan, tidak tahu kapan itu akan berakhir dan seolah-olah menjadi konsumsi elit berkuasa. Represi negara melalui agen-agennya seperti TNI dan aparat keamanan terus menjamur dalam setiap ekspresi rakyat tertindas. Penggusuran tanah dan rumah penduduk dan pengrusakan lingkungan terus menjadi-jadi, menjadi hiasan kisah dalam transisi menuju demokrasi. Selain itu, lembaga perwakilan pun, yang menjadi harapan formal untuk mendemokratisasi negara untuk kesejahteraan rakyat, tidak melaksanakan ekspektasi masyarakat. Hal ini, tentu saja anomali dalam reformasi.

Ujungnya, Rakyat bergerak sendiri untuk kesejahteraan. Di saat dinamika seperti inilah muncul pertanyaan, dimana negara? Bukannya negara menjamin kesejahteraan rakyat? Bukankah negara selalu hadir ketika ada bencana?

Saat ini, banyak argumentasi, negara akan akan selalu hadir ketika ada bencana besar. Jika tidak, maka rakyat jauh dari negara. Ketika kebijakan BBM naik, privatisasi perusahaan negara, yang merupakan agenda neoliberalisme, serta praktik KKN dalam birokrasi dan parlemen, rakyat tentu saja mengalami bencana, karena dampak dari itu semua adalah kemelaratan. Sementara di sisi lain, upah bagi kelompok buruh tidak mengalami perubahan.

Gerakan dari bawah tidak bermaksud pengambilalihan fungsi formal yang dijalan oleh lembaga perwakilan ketika lembaga itu beku. Namun gerakan dari bawah merupakan suatu warisan sejarah bagi rakyat yang harus dilakukannya. Ada dua hal penting yang dilakukan oleh jalur ini,

1) ketika elit politik “mati” dalam melakukan inisiasi dalam melakukan perubahan. KKN, Birokrasi Omnipotent, kapitalisasi dan tidak mengagendakan demokrasi secara substantif maka gerakan dari bawah akan menggunakan hak inisiasinya melakukan “mendemokratisasikan negara”. Karena dampak dari anomali demokratisasi dari atas ini akan mempersulit bagi kelangsungan konsolidasi demokrasi dan bahkan mengancam untuk kembali ke otoritarianisme.

2) Merebut posisi negara ketika inisiatif elit itu terus melakukan penyimpangan atau tekanan dari bawah tidak mengalami efek bagi pejabat negara. Tentu saja melalui politik election yang demokratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar