Rabu, 06 Januari 2010

Kemiskinan Ditengah Rimbunan Buah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumut

Nasib Buruh Kebun : Kemiskinan Ditengah Rimbunan Buah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumut

Pendahuluan

Pembangunan kebun kelapa sawit skala besar secara ekonomis telah memberikan harapan besar bagi para pemilik modal. Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit yang seakan-akan tanpa control itu telah pula membabat kawasan hutan, lahan pertanian, rawa gambut bahkan sebagian daerah pantaipun diubah jadi perkebunan.

Di Sumut sampai saat ini tercatat luas seluruh perkebunan kelapa sawit mencapai 600.000 ha (BPS, 2006). Berdasarkan hitungan rata-rata, lahan seluas 100 ha dikerjakan oleh 22 buruh maka jumlah buruh di perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara mencapai 1.320.000 buruh.

Perluasan kebun kelapa sawit telah mendorong peningkatan produksi CPO dari Sumut. Seharusnyalah kesejahteraan buruh meningkat seiring dengan peningkatan produksi dan keuntungan perkebunan dari waktu ke waktu. Tetapi fakta-fakta menunjukkan bahwa kehidupan buruh justru mengalami penurunan daya beli buruh semakin menurun dibandingkan upah yang diterima setiap bulan. Mengapa ini bisa terjadi?

Sejarah Perburuhan di Kebun sawit

Pola perikatan kerja yang longgar di perusahaan perkebunan bersumber dari rekruitmen warisan yang telah berlangsung sejak jaman kolonialisme. “Koeli kontrak” (perikatan kerja tempo dulu) waktu dulu dilakukan dengan cara mendatangkan buruh dari luar daerah terutama dari Pulau Jawa dengan kontrak kerja selama 3,5 tahun. Setelah habis masa kontrak, kebanyakan dari para buruh migrant ini tidak memiliki tabungan untuk pulang ke Jawa atau keahlian untuk beralih ke pekerjaan lain. Cara ditempuh mempertahankan kelangsungan hidupnya (Coping Strategy) adalah melanjutkan sistem kontrak.

Pada awal kemerdekaan Indonesia memiliki sejarah pengupahan buruh yang melindungi kehidupan buruh. Antara lain : Jaminan kerja tetap dan pemberian upah kepada buruh berbasis kebutuhan pokok – dimana pengusaha diwajibkan Catu-11 (terdiri dari : beras, minyak makan, pakaian, ikan, susu, dll) kepada buruh disamping upah nominal dengan istilah “gaji besar” dan “gaji kecil”. Buruh melalui serikat buruh juga memiliki akses yang kuat terhadap penetapan upah di perburuhan melalui Dewan Perusahaan dimana unsure buruh/serikat buruh diakomodir di dalamnya.

Awal tahun 1970, masa Orde baru, mulai ada pembatasan pengangkatan buruh SKU demi efisiensi ongkos produksi dan optimalisasi profit perusahaan. Demi alasan tadi penggunaan Buruh Harian Lepas di perkebunan mulai marak, dengan modus operansi “penangguhan penggangkatan menjadi buruh SKU”, Catu 11 dikonversikan dengan “uang” lahirlah konsep upah minimum (UM) menjadi dasar pengupahan untuk semua sektor produksi. Konsep UM itulah dasar dari doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP).

Pada Artinya upah riel yang mereka peroleh untuk sekedar makan sehari-hari tidaklah cukup. Sementara alat-alat perlindungan kerja dan asuaransi kesehatan para buruh juga seturut dengan pendapatannya yang mengempis.

Karakteristik Kecelakaan Kerja di Perkebunan

Isu Keselamatan dan kesehatan kerja (selanjutnya disingkat K-3) merupakan masalah penting dalam dunia perburuhan. Selain sebagai hak dasar buruh, K-3 juga sebagai persyaratan utama bagi perusahaan untuk mengurangi kemungkinan resiko dan bahaya dalam bekerja (aspek preventif), memungkinkan tercapainya pengobatan (aspek kuratif) dan pemulihan kesehatan (aspek rehabilitatif) bagi buruh khususnya mereka yang mengalami kecelakaan kerja. Secara normatif, hal tersebut menyangkut aspek regulasi dan pengawasan mempunyai kerangka yang terperinci dalam perundang-undangan.

Data dilapangan menunjukkan masalah K-3 sebagai isu perburuhan masih relevan dipersoalkan. Temuan di 5 perusahaan perkebunan sawit dan Karet di Sumatera Utara antara lain; PT Lonsum Turangi Estate, Sofindo Mata Pao, PTPN II Langkat dan PT BSP dan PT Anglo Eastern Plantation di Asahan menunjujukan bahwa dari 47 kasus kecelakaan, 32 korban (68,08%) dikategorikan sebagai kecelakaan ringan, 11 korban (23,40%) cacat total akibat kena tatal (getah), tertimpa buah sawit, ketimpa kotoran getah karet dan kotoran berondolan ke dalam mata menyebabkan kebutaan dan 2 korban (4,25%) meninggal dunia karena sengatan listrik di area perbatasan kebun dan tertimpa tandan buah segar (KPS, 2008).

Hal ini berarti bahwa sistem K-3 belum berjalan dengan baik. Pihak yang mempunyai otoritas atas aspek regulasi dan pengawasan belum menegakkan pengawasan dan sanksi tegas terhadap pengusaha yang tidak mematuhi aturan-aturan, code etik yang berkaitan dengan K-3. Pada hal amanat UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja sudah mengatur syarat-syarat pelaksanaan K-3 berikut sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakanya.

Demikian juga pihak pengusaha belum melihat K3 sebagai budaya kerja beradap. Sikap sebagian perusahaan masih memiliki persepsi yang keliru tentang program K-3 yakni semata-mata di lihat dalam perspektif biaya yang membebani perusahaan.

Penutup

Dari paparan di atas tampak bagaimana dinamika modal mereduksi relasi antara buruh dan Negara yang berakibat pada tidak terlindunginya hak-hak dasar kaum buruh. Untuk memperbaiki relasi tadi, penulis menyarankan agar pemerintah selaku regulator mengembalikan kebijakan perburuhan berbasis kesejahteraan, sebagaimana amanat UUD, 45 “jaminan pekerjaan”, “hidup layak” dan “kebebasan berorganisasi”. Tidak ada pilihan ideal lainnya selain menjalankan amanat konstitusi tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar