Minggu, 31 Januari 2010

Surat Balasan Kepada Asisten Staf Khusus Presiden Bid. Publikasi dan Documentasi.


Mas Zaenal Yth, saya sangat senang mas mau merespon kritisi saya, cuma disini alasan yang anda sampaikan terlalu umum dan sangat sulit saya menerima itu sebagai suatu yang dapat merubah alur pemikiran saya.

1. Peluang SBY untuk kembali menang dalam pemilihan presiden priode 2, tidak menjamin kalau SBY ataupun tim suksesnya melakukan intrik-intrik kotor untuk kembali memenangkan SBY kembali. Akan bersatunya PDIP dan Golkar bisa saja menggoyahkan prolehan suara SBY. makanya untuk menggoyahkan posisi lawan selain melakukan intrik politik dengan memecah belah kekuatan lawan dengan wacana-wacana calon wapres sehingga banyak parpol yang akhirnya mendua. Pada masyarakat Tim SBY melakukan manoy politik melalui program-program pemerintah, iklan yang jor-joran di media cetak dan televisi dan melakukan kampanye yang cukup wah, untuk menarik masyarakat. Persis seperti apa yang di lakukan saat masa Orde baru dahulu. Masyarkat indonesia kemaruk akan kemewahan...siapa yang bisa menciptakan suasana mewah dia pasti akan mendapatkan simpati rakyat. Dana yang cukup besar sangat dibutuhkan untuk itu.

2. Justru Jk Sebagai wakil presiden dan Acting Presiden tidak pernah dilapori sedikitpun tentang arah kebijakan bank Century, maka beliau mengambil inisiatif menangkap Robert T. Lebih celaka lagi Kalau beliau kabur (krn saat dijemput beliau sudah siap-siap berangkat ke singapura) jangatkan asset, orangnya saja tidak tersentuh hukum...yang terkait kasus BLBI misalnya. Dan Mengapa kalaulah sudah ada sekenario BI seperti yang anda sampai, Mengapa pada JK Budiono menyampaikan kalau Robert T tidak bisa ditanggap krn tidak ada UU Perbankan yang dilanggar.

3. Jelas Pada Yusuf Kalla bu Sri Mulyani menyatakan kalau beliau telah tertipu oleh BI. Chaos, adanya dampak sistemik itu hanya hal-hal yang dibesar-besarkan agar bailout bisa dilaksanakan dan tidak ada opsi lain yang bisa jadi pilihan. Bailout 6,7T digelontorkan untuk menambah modal dan talangan telah ditunggangi dengan cara, Dana Nasabah yang dialihkan management bank century ke PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia yang berjumlah hampir 1,5 T dilaporkan BI juga termasuk yang harus ditalangi. Pada kenyataannya dana nasabah yang dialihkan bank century ke PT. Antaboga Delta Sekuritas Indonesia tidak bisa dibayar oleh pemerintah karena itu bukanlah kewajiban pemilik baru untuk membayarkannya dan reksandana antaboga bukanlah produk bank. Pada Rekening dana nasabah yang dialihkan bank century ke reksadana sekuritas inilah BI melakukan "Rekonsolidasi Data" sehingga menjadi menjadi rekening-rekening fiktif yang dimanfaatkan untuk biaya Kampanye SBY-Budiono dan sebahagian mengalir kepada mereka-mereka yang punya jasa kebijakan bailout century.

4.Justru tugas UKP3R adalah pengawas program reformasi, makanya sangat tidak lajim turut hadir pada rapat-rapat KKSK yang didalammnya mengungkap data-data perbankan yang mana menurut UU Perbankan sangat rahasia dan tidak bisa mereke yang tidak berkompeten turut mengetahuinya. Dan KKSK bukanlah Institusi yang lagi menjalankan program Reformasi sehingga UKP3R harus turut hadir didalamnya, kalau gak membawa misi-misi tertentu. Kalau masalah membantahnya Marsillam, sampai kinipun Supersemar gak tahu rimbanya dimana padahal waktu itu seluruh tokohnya masih pada hidup.

5. Yang mendamaikan Aceh adalah adanya Gempa Bumi dan Tsunami - bukan JK ataupun SBY berketepatan saja saat itu mereka yang berkuasa - sehingga timbul kesadaran pada diri para petinggi GAM untuk mengalihkan perjuangan secara diplomasi. Kita belum tahu ada apa dibalik kesepatan Helsinski oleh para petinggi GAM, yang ia nya mereka sekarang melakukan perjuangan secara diplomatis melalui partai lokal yang gol settingnya kedepan adalah Referendum.

6. Tolak ukur keberhasilan pemberantasan korupsi adalah mana kala bisa secara langsung dampaknya bisa dirasakan oleh masyarakat pada birokrasi pemerintahan. Dana Korupsi yang diambil lewat pungli dijalan raya, jembatan timbang, pengurusan KTP,KK, Akta, pengurusan surat nikah, SIM, STNK, pengurusan keterangan perusahaan, Proses Tender, Percaloan kasus di Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian dan sebagainya, kasus BLBI yang belum juga terungkap, kalau dihitung-hitung jauh luar biasa besar jika dibanding uang yang diselamatkan KPK, Kepolisian dan Jaksa dalam penanganan Kasus Korupsi. Justru SBY yang kekuasaannya bisa penuh 5 Tahun harus bisa lebih dari apa yang di capai Habiebie, Gusdur, Megawati. Yang harus menjadi sekala kita adalah tingkat kehidupan masyarakat yang pada kenyataan gak jauh-jauh amat berubah disaat ke-3 president tsb memimpin, walau mereka memimpin tidak penuh selama 5 tahun seperti SBY. Mengenai pertumbuhan ekonomi, yang dibiar-biarin begitu saja ekonomi kita sudah pasti tumbuh 4-5%, namun inilah yang selalu dibangga-banggakan pemerintah seolah-oleh akibat kinerja mereka.

7. Kita Sekarang duduk di 9 badan PBB bukanlah hal mutlak yang harus dibanggakan dan merupakan pencapaian diplomasi yang luarbiasa. Kita bangga masuk bandan HAM PBB, namun pada satu sisi Peristiwa semanggi, pembunuhan Munir belum juga bisa dituntaskan. Kita bisa lebih dihargai dimata dunia jika ekonomi kita bisa melesit bagus seperti halnya India, Negara bisa tegas atas sumberdaya alam yang dia miliki sepertinya apa yang dilakukan Hugo Chaves yang digunakan sepenuhnya untuk memakmurkan Rakyat. Oleh Raga bisa bicara di even-even International. Jangan selalu mengetengahkan keberhasilan-keberhasilan pemerintah hanya berupa retorika semu untuk menutupi segudang kebobrokan. Kita bicara negara yang terdiri dari masyarakat yang ada didalamnya...jadi tolak ukur kita haruslah selalu kesejahteraan masyarakat sudah sampai dimana pencapaiannya. Sayang, LSI dan LP3ES belum pernah sekalipun sensus mengenai keadaan dan keluhan hidup masyarakat awam yang seharusnya menjadi tolak ukur.

Sabtu, 30 Januari 2010

5 Tahun Plus 100 hari Pemerintahan SBY 2 BAB, 9 Pasal dan 15 Ayat UUD 1945 Telah Dilanggar.

Ini merupakan fakta, bahwa selama 5 tahuan plus 100 hari pemerintahan SBY tidak mencapai, tidak mengacu dan cendrung mengesampingkan bab dan pasa-pasal di bawah ini.

BAB X WARGA NEGARA DAN PENDUDUK

Pasal 27

1. Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan
dan wadjib mendjundjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
ketjualinya.

2. Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerdjaan dan penghidupan yang lajak bagi
kemanusiaan.

Pasal 28

Pasal 28C

1. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan
dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu
pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan uman manusia.

2. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan
negaranya.

Pasal 28D

1. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

2. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan
yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

3. Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam
pemerintahan.


Pasal 28F

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi
denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 28G

Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa
aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat
sesuatu yang merupakan hak asasi.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang
merendahkan derajat martabat menusia dan berhak memperoleh suaka politik dari
negara lain.

Pasal 28H

1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.

2. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan
dan keadilan.

3. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.

4. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut
tidak boleh diambil alih secara sewenang oleh siapa pun.

Pasal 28I

1. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun.

2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.

3. Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.

4. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggun jawab negara, terutama pemerintah.

BAB XIV. KESEDYAHTERAAN SOSIAL

Pasal 33

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.

2. Tjabang-tjabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasasi hadyat
hidup orang banyak dikuasai oleh Negara.

3. Bumi dan air dn kekajaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Pasal 34

Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.

Sama seperti halnya masa Orde Baru...Kembali Pemerintahan SBY melanggar pasal-pasal UUD'45 diatas, hal ini jelas mengindifikasikan bahwa Pemerintahan SBY adalah Boneka Barat pengganti Soeharto. Kalau dulu barat mendukung pemerintahan Soeharto dengan Isu Komunisme dan Kapitalisme, Sekarang barat mendukung Pemerintahan SBY dengan Isu Demokrasi dan HAM. Pengerukan Sumberdaya Alam terus-menerus dilakukakan dengan mengesampingkan kemakmuran Rakyat, Pendidikan dikomersialisasi, Korupsi yang menyentuh langsung kerakyat (pungli-pungli) semakin parah, Pembiakan kroni terus menerus dilakukan, kemewahan para pejabat negara dan lingkaran istana sudah mulai terasa, Rakyat papah, kaum miskin, anak-anak jalanan, parahnya fasilitas jalan didaerah-daerah, sekolah-sekolah yang masih apa adanya dibanyak tempat di seluruh pelosok nusantara dikesampingkan untuk memenuhi mobil pejabat 1,3 milyard, pagar istana 22,5 milyard, rencana pembelian pesawat kepresidenan 700milyard.Tak kan pernah maju Indonesia kalau para pemimpin negeri ini masih membonekakan dirinya pada kepentingan barat untuk melanggengkan kekuasaannya, sementara kemakmuran rakyat dinomor duakan...Soeharto dan SBY adalah dua contoh nyata.

Kamis, 21 Januari 2010

Pemerintahan Sekarang telah dikuasai oleh Para Pendusta bergaya Malaikat.

Bailout century merupakan fakta nyata sebagai rencana trategis yang dikondisikan sebagai salah satu sumber dana kampanye Pemenangan SBY sebagai presiden RI untuk priode kedua. Agar permainan rapi dan tidak menimbulkan kesan korupsi dan di lakukannya pengusutan bila ini menjadi kasus maka dibuat suatu skenario besar dari pemandulan KPK melalui Kasus Antasari, Kasus Cecak dan Buaya, hal ini karena KPK merupakan lembaga yang masih bersih untuk dapat menuntaskan kasus korupsi bila Bailout ditenggarai bisa menimbulkan polemik dimasyarakat. Namun ternyata rakyat telah pintar dan tidak begitu saja menerima pengerdilan KPK dengan isu suap, sehingga Pemendulan KPK gagal total atas dukungan dan perhatian masyarakat yang tidak diperkirakan oleh pemerintah sebelumnya, untuk membersihkan diri dan melihat gelombang protes masyarakat kian membesar maka dibentuklah tim 8 sebagai obat mujarab mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sehingga sekarang KPK masih kukuh, walau Antasari Kasusnya masih kian mengambang.

Seiring dengan kembali kukuhnya KPK dan Bergulirnya Kasus century sampai terbentuknya Pansus untuk mengungkapkan kasus tersebut di DPR membuat pemerintah semakin grogi dan takut kalau boroknya yang selama ini tersebunyi dibalik kesantunan akhirnya dilihat oleh masyarakat. Sehingga skenario keduapun dimainkan dengan menutup rapat-rapat kasus ini sehingga jangan sampai mengerucut kepada Mr. Jaim sang Presiden. Tidak sinkronnya pendapat dan banyaknya hal-hal yang ditutup-tutupi seluruh saksi yang dipanggil oleh Pansus mengenai kebijakan Bailout,serta pembelaan yang menggebu-gebu yang dilakukan oleh fraksi PD yang diduduk dipansus sehingga terkesan menghalang-halangi jalannya tanya jawab. mempertegas adanya udang dibaiik batu. Terlebih lagi yang celakanya :

1. Sebagai acting President Jk tidak pernah dilibatkan dan dilaporkan mengenai bailout century mulai dari proses hingga pengambilan keputusan, beliau dilaporkan setelah adanya penggelontoran dana...inikah sebuah negara dimana para pembantu presiden tidak melaporkan suatu keputusan penting manyangkut keuangan negara 6,7T padahal acting presiden adalah sebagai gantinya presiden saat presiden melakukan kunjungan keluar negeri yang ditetapkan melalui keppres yang berhak menerima laporan selayaknya saat presiden berada didalam negeri. Indikasi jelas...kongkalikong takut di ketahui dan dianulir oleh JK. Dipemerintahan sekarang alur ketatanegaraan di pelintir sedimikian rupa untuk sebuah yang namanya konspirasi, presiden dan wakil pun bisa diberi laporan penting yang krusial hanya dengan sms...luar biasa.Pantasan SBY sering gagal menafsirkan sesuatu kejadian seolah-oleh adanya fitnah teror dsb, sebab sering mencerna laporan hanya dari laporan SMS.

2. Sri Mulyani saat menghadap JK, mengatakan kalau beliau telah tertipu oleh BI karena sangat terkejut kalau dana talangan Bail Out yang beliau setujui sekitar 600M membengkak menjadi sekitar 6,7 T. Mengindikasikan bahwa Ibu Sri Mulyani yang terkenal idealis dan tegas tidak semerta-merta menerima Bailout bank century karena data yang mengharuskan untuk mengambil tindakan itu masih kurang namun karena ada interpensi dan tekanan dari pihak dari pihak istana melalui Marsillam Simanjuntak beliau dengan berat hati menyetujuinya namun hanya 600M bukan 6,7 T lebih. Sangat disayangkan jika Sri Mulyani tidak berani mengungkapkan ada apa dibalik yang 6,7 T, lagi-lagi yang pintar harus bertekuk lutut dan manggut kepada mereka yang penipu dan pencuri.

3. Marsillam Simanjuntak adalah fakta jelas merupakan kaki tangan presiden yang berbajukan UKP3R untuk menggiring keputusan KKSK pada akhirnya memBail out bank Century karena sebagian dananya akan digunakan sebagai dana Kampanye presiden. Adalah seorang yang tolol jika beliau diundang sebagai narasumber beliau tulis sebagai UKP3R di daftar hadir. Adalah Orang-orang tolol pula yang ada di KKSK jika terus-terusan mengundang Marsillam sebagai narasumber yang sedikitpun tidak diterima masukannya dan tidak memiliki sedikitpun pengetahuan mengenai masalah perbankan dan ekonomi baik mikro dan makro.Sebagai Unit kerja yang dibentuk presiden hanya orang idiotlah yang percaya kalau tak ada sekalipun laporan Marsillam menganai bailout century saat mulai dari rapat-rapat awal dilakukan, pengambilan keputusan dan keputusan dijalankan hingga sampai beliau di bebas tugaskan. Pantasan kejaksaan sangat amburadul saat beliau masih di kejaksaan, Gusdur dan Megawati jatuh, dan sekarang pemerintahan SBY centang prenang karena masih mau mendudukkan seorang penipu besar seperti Marsillam pada struktur pemerintahan. Memang kita gak pernah belajar dari masa lalu, tetap memasukkan sampah ke Istana.

Sekarang masyarakat sudah pada pintar, ibu-ibu tukang cuci/pembantu dan pedagang bakso tetangga saya saja bilang kalau SBY itu dah nipu rakyat pada kasus century...jadi tolong jangan bersembunyi dibalik kesantunan. Mana ada pencuri yang mengaku, di bentak dan pukul aja jarang ngaku apa lagi ditanya dengan cara santun. Adalah lebih santun kalau mau mengakui kesalahan dan bersedia mempertanggung jawabkannya kepada Rakyat. Rakyat sudah muak dibodohi dan disuguhi opera tolol yang kerap dilakukan pemerintah untuk menutupi boroknya.Sebagai warga negara kita harus mempertanggung jawabkan pilihan kita dengan mengoreksinya untuk menjadi benar dan menggantinya bila perlu kalau memang berbuat kesalahan, bukan malah membela kesalahannya dan enggan berlakukan kritisi hanya karena beliau adalah pilihan. Apa yang terjadi dinegara ini kemarin, kini dan akan datang adalah karena pilihan kita. Apakah kita harus berdamai dengan yang namanya Pilihan, tokoh, idola dsb kalau pada akhirnya akan membawa kita kejurang ? Orde Baru jilid II sudah melekat pada pemerintahan sekarang, kemewahan, pembiakan kroni, pengekangan, penipuan dan pembodohan kepada masyarakat pelan-pelan mulai dilakukan...mari kita sadari.

Rabu, 06 Januari 2010

Kemiskinan Ditengah Rimbunan Buah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumut

Nasib Buruh Kebun : Kemiskinan Ditengah Rimbunan Buah Perkebunan Kelapa Sawit di Sumut

Pendahuluan

Pembangunan kebun kelapa sawit skala besar secara ekonomis telah memberikan harapan besar bagi para pemilik modal. Perluasan lahan perkebunan kelapa sawit yang seakan-akan tanpa control itu telah pula membabat kawasan hutan, lahan pertanian, rawa gambut bahkan sebagian daerah pantaipun diubah jadi perkebunan.

Di Sumut sampai saat ini tercatat luas seluruh perkebunan kelapa sawit mencapai 600.000 ha (BPS, 2006). Berdasarkan hitungan rata-rata, lahan seluas 100 ha dikerjakan oleh 22 buruh maka jumlah buruh di perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara mencapai 1.320.000 buruh.

Perluasan kebun kelapa sawit telah mendorong peningkatan produksi CPO dari Sumut. Seharusnyalah kesejahteraan buruh meningkat seiring dengan peningkatan produksi dan keuntungan perkebunan dari waktu ke waktu. Tetapi fakta-fakta menunjukkan bahwa kehidupan buruh justru mengalami penurunan daya beli buruh semakin menurun dibandingkan upah yang diterima setiap bulan. Mengapa ini bisa terjadi?

Sejarah Perburuhan di Kebun sawit

Pola perikatan kerja yang longgar di perusahaan perkebunan bersumber dari rekruitmen warisan yang telah berlangsung sejak jaman kolonialisme. “Koeli kontrak” (perikatan kerja tempo dulu) waktu dulu dilakukan dengan cara mendatangkan buruh dari luar daerah terutama dari Pulau Jawa dengan kontrak kerja selama 3,5 tahun. Setelah habis masa kontrak, kebanyakan dari para buruh migrant ini tidak memiliki tabungan untuk pulang ke Jawa atau keahlian untuk beralih ke pekerjaan lain. Cara ditempuh mempertahankan kelangsungan hidupnya (Coping Strategy) adalah melanjutkan sistem kontrak.

Pada awal kemerdekaan Indonesia memiliki sejarah pengupahan buruh yang melindungi kehidupan buruh. Antara lain : Jaminan kerja tetap dan pemberian upah kepada buruh berbasis kebutuhan pokok – dimana pengusaha diwajibkan Catu-11 (terdiri dari : beras, minyak makan, pakaian, ikan, susu, dll) kepada buruh disamping upah nominal dengan istilah “gaji besar” dan “gaji kecil”. Buruh melalui serikat buruh juga memiliki akses yang kuat terhadap penetapan upah di perburuhan melalui Dewan Perusahaan dimana unsure buruh/serikat buruh diakomodir di dalamnya.

Awal tahun 1970, masa Orde baru, mulai ada pembatasan pengangkatan buruh SKU demi efisiensi ongkos produksi dan optimalisasi profit perusahaan. Demi alasan tadi penggunaan Buruh Harian Lepas di perkebunan mulai marak, dengan modus operansi “penangguhan penggangkatan menjadi buruh SKU”, Catu 11 dikonversikan dengan “uang” lahirlah konsep upah minimum (UM) menjadi dasar pengupahan untuk semua sektor produksi. Konsep UM itulah dasar dari doktrin Hubungan Industrial Pancasila (HIP).

Pada Artinya upah riel yang mereka peroleh untuk sekedar makan sehari-hari tidaklah cukup. Sementara alat-alat perlindungan kerja dan asuaransi kesehatan para buruh juga seturut dengan pendapatannya yang mengempis.

Karakteristik Kecelakaan Kerja di Perkebunan

Isu Keselamatan dan kesehatan kerja (selanjutnya disingkat K-3) merupakan masalah penting dalam dunia perburuhan. Selain sebagai hak dasar buruh, K-3 juga sebagai persyaratan utama bagi perusahaan untuk mengurangi kemungkinan resiko dan bahaya dalam bekerja (aspek preventif), memungkinkan tercapainya pengobatan (aspek kuratif) dan pemulihan kesehatan (aspek rehabilitatif) bagi buruh khususnya mereka yang mengalami kecelakaan kerja. Secara normatif, hal tersebut menyangkut aspek regulasi dan pengawasan mempunyai kerangka yang terperinci dalam perundang-undangan.

Data dilapangan menunjukkan masalah K-3 sebagai isu perburuhan masih relevan dipersoalkan. Temuan di 5 perusahaan perkebunan sawit dan Karet di Sumatera Utara antara lain; PT Lonsum Turangi Estate, Sofindo Mata Pao, PTPN II Langkat dan PT BSP dan PT Anglo Eastern Plantation di Asahan menunjujukan bahwa dari 47 kasus kecelakaan, 32 korban (68,08%) dikategorikan sebagai kecelakaan ringan, 11 korban (23,40%) cacat total akibat kena tatal (getah), tertimpa buah sawit, ketimpa kotoran getah karet dan kotoran berondolan ke dalam mata menyebabkan kebutaan dan 2 korban (4,25%) meninggal dunia karena sengatan listrik di area perbatasan kebun dan tertimpa tandan buah segar (KPS, 2008).

Hal ini berarti bahwa sistem K-3 belum berjalan dengan baik. Pihak yang mempunyai otoritas atas aspek regulasi dan pengawasan belum menegakkan pengawasan dan sanksi tegas terhadap pengusaha yang tidak mematuhi aturan-aturan, code etik yang berkaitan dengan K-3. Pada hal amanat UU No.1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja sudah mengatur syarat-syarat pelaksanaan K-3 berikut sanksi bagi perusahaan yang tidak melaksanakanya.

Demikian juga pihak pengusaha belum melihat K3 sebagai budaya kerja beradap. Sikap sebagian perusahaan masih memiliki persepsi yang keliru tentang program K-3 yakni semata-mata di lihat dalam perspektif biaya yang membebani perusahaan.

Penutup

Dari paparan di atas tampak bagaimana dinamika modal mereduksi relasi antara buruh dan Negara yang berakibat pada tidak terlindunginya hak-hak dasar kaum buruh. Untuk memperbaiki relasi tadi, penulis menyarankan agar pemerintah selaku regulator mengembalikan kebijakan perburuhan berbasis kesejahteraan, sebagaimana amanat UUD, 45 “jaminan pekerjaan”, “hidup layak” dan “kebebasan berorganisasi”. Tidak ada pilihan ideal lainnya selain menjalankan amanat konstitusi tersebut.

MENDEMOKRATISASI NEGARA

DEMOKRASI bukanlah tujuan akhir, demokrasi hanya sebagai tangga menuju kesejahteraan sosial, demikian kalimat John Markof dalam bukunya gelombang demokrasi di dunia. Di Indonesia, sejarah demokrasi mengalami pasang surut. Sejak kepemimpinan Soekarno presiden pertama RI, demokrasi pernah dipraktekkan namun tidak berusia panjang, dan suatu pengklaiman hanya sebagai uji coba. Lebih lagi pada masa sesudahnya, Orde baru menghilangkan demokrasi itu dari peredarannya dalam setiap ranah publik dan diganti dengan “demokrasi senjata”. Tetapi rezim yang menggantikan kedua orde tersebut pada era reformasi mengkampanyekan platform sistem pemerintahan yang berfundasi pada nilai-nilai demokrasi bahkan melakukan kampanye publik untuk mencegah sistem otoritarianisme. Sayangnya, demokrasi sebagai platform tersebut tidak dipraktekkan sepenuhnya. Reformasi dijalankan setengah hati dan demokrasi dijalankan secara mengambang.

Ada beberapa trajektori demokrasi yang bisa dipetik dalam mendemokratisasikan negara.

Pertama; demokratisasi dari atas. Demokrasi yang dimainkan oleh elit berkuasa dengan segala inisiatifnya melakukan proses demokratisasi. Tentu saja, prilaku elit dalam konteks itu bersikap merakyat, bertanggungjawab kepada konstituen “rakyat”, transparan dalam menjalankan roda kekuasaan, rule of law, birokrasi inklusif dalam aspek politik rakyat “partisipasi” dan tidak bersikap sembrono dalam mempermainkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongan atau jauh dari kecendrungan oligarki.

Kedua: demokratisasi dari samping, yang diperankan oleh lembaga perwakilan rakyat. Fungsi-fungsi formal dengan melakukan pengawasan terhadap kontrak politik atau berbagai kesepakatan dalam berbagai bentuk peraturan, legislasi dan lain sebagainya.

Ketiga: demokratisasi dari bawah, yang diperankan oleh berbagai kelompok atau organisasi, baik itu organisasi politik, sosial, kelompok universitas, maupun oraganisasi ekonomi.

Secara empirik jalur mendemokratisasikan negara “melalui elit” tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam konteks kemajuan demokratisasi. Demokrasi hanya menghasilkan kebebasan pemerintahan tanpa menghiraukan proses politik modern dengan meletakkan fundasi kebijakan pada kebangkitan ekonomi rakyat dan kedaulatan warga. Politik sentrifugal yang dimulai sejak kejatuhan soeharto pun, hanya dimanfaatkan oleh segelitir orang di daerah, sementara masyarakat miskin, nelayan, petani dan buruh jauh dari proses itu. Liberalisasi politik yang sudah dimulai sejak 8 tahun lalu, diterkam oleh proses kompetisi yang tidak seimbang dan didukung dengan bad governance. Sehingga rakyat tetap tereliminasi dalam proses liberalisasi itu. Misalnya; rakyat miskin kota di daerah, nelayan dan buruh yang masih berserakan. Selain itu, praktek “politik berdinding” yang sering di adopsi oleh elit di tingkat lokal tidak memacu bagi tumbuhnya proses demokratisasi yang lebih bermanfaat bagi kaum marjinal tersebut. Sebaliknya, liberalisasi itu memunculkan kemenangan kelas menengah.

Melihat hal tersebut, tidak sulit untuk menuding bahwa proses demokratisasi melalui jalur dari atas, tidak efektif. Secara empirik dari kegagalan itu terlihat dalam berbagai serangkaian kebijakan pemerintah dan praktek kekuasaan yang buruk serta memicu munculnya berbagai KKN di semua sektor urusan pemerintah. Di daerah, munculnya perda-perda yang bermasalah dan mengakomodasi kepentingan neoliberal.

Selain itu, problem politik yang cukup memprihatinkan lagi dalam konteks demokratisasi adalah peran lembaga demokrasi perwakilan yang tidak efektif dalam melahirkan pemerintahan yang bersih, berwibawa dan good governance. Lemahnya proses demokratisasi dari samping tersebut juga membawa pengaruh bagi krisis pemerintahan dengan munculnya berbagai penyakit seperti korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan birokrasi yang omnipotent. Selain itu pula, pukulan yang amat mematikan bagi lembaga demokrasi perwakilan itu adalah masalah internal lembaga perwakilan dengan kapasitas personil wakil rakyat yang terbatas dan korupsi yang berjemaah dalam lembaga ini. Akhirnya berbuntut delegitimasi kepada kedua lemba tersebut yang membuat demokratisasi tidak efektif dan bahkan mempengaruhi bagi konsolidasi demokrasi.

Untuk mendemokratisasikan negara mungkin merupakan ide yang kolot. Karena mungkin bagi banyak kalangan bahwa negara memiliki otoritas yang luar biasa dalam membawa arah perubahan. Atau bahkan ada anggapan bahwa negara lebih mengerti dan lebih memahami bagaimana cara merubah masyarakat. Pandangan ini tentu saja, di anggap melecehkan kedaulatan rakyat karena tidak meletakkan kekuatan rakyat sebagai salah satu kekuatan politik yang mampu merubahan negara. Gerakan rakyat untuk membuat negara lebih reflektif, demokratis dan melaksanakan tata kepemerintahan yang lebih baik.

Hal tersebut tentu saja berawal prosek demokrasi yang kian mengalami kemerosotan hingga banyak penduduk atau kelompok tidak mempraktekkan demokrasi itu sendiri. Hingga demokrasi itu dibenci, bahkan mencaci-maki politisi yang sering berbicara demokrasi tapi formalin. Kemerosotan demokrasi di Indonesia dipicu oleh budaya birokrasi orde baru yang bangkit kembali dan melekat pada politisi reformis.

KKN yang terus-menerus muncul dalam setiap periode kekuasaan, tidak tahu kapan itu akan berakhir dan seolah-olah menjadi konsumsi elit berkuasa. Represi negara melalui agen-agennya seperti TNI dan aparat keamanan terus menjamur dalam setiap ekspresi rakyat tertindas. Penggusuran tanah dan rumah penduduk dan pengrusakan lingkungan terus menjadi-jadi, menjadi hiasan kisah dalam transisi menuju demokrasi. Selain itu, lembaga perwakilan pun, yang menjadi harapan formal untuk mendemokratisasi negara untuk kesejahteraan rakyat, tidak melaksanakan ekspektasi masyarakat. Hal ini, tentu saja anomali dalam reformasi.

Ujungnya, Rakyat bergerak sendiri untuk kesejahteraan. Di saat dinamika seperti inilah muncul pertanyaan, dimana negara? Bukannya negara menjamin kesejahteraan rakyat? Bukankah negara selalu hadir ketika ada bencana?

Saat ini, banyak argumentasi, negara akan akan selalu hadir ketika ada bencana besar. Jika tidak, maka rakyat jauh dari negara. Ketika kebijakan BBM naik, privatisasi perusahaan negara, yang merupakan agenda neoliberalisme, serta praktik KKN dalam birokrasi dan parlemen, rakyat tentu saja mengalami bencana, karena dampak dari itu semua adalah kemelaratan. Sementara di sisi lain, upah bagi kelompok buruh tidak mengalami perubahan.

Gerakan dari bawah tidak bermaksud pengambilalihan fungsi formal yang dijalan oleh lembaga perwakilan ketika lembaga itu beku. Namun gerakan dari bawah merupakan suatu warisan sejarah bagi rakyat yang harus dilakukannya. Ada dua hal penting yang dilakukan oleh jalur ini,

1) ketika elit politik “mati” dalam melakukan inisiasi dalam melakukan perubahan. KKN, Birokrasi Omnipotent, kapitalisasi dan tidak mengagendakan demokrasi secara substantif maka gerakan dari bawah akan menggunakan hak inisiasinya melakukan “mendemokratisasikan negara”. Karena dampak dari anomali demokratisasi dari atas ini akan mempersulit bagi kelangsungan konsolidasi demokrasi dan bahkan mengancam untuk kembali ke otoritarianisme.

2) Merebut posisi negara ketika inisiatif elit itu terus melakukan penyimpangan atau tekanan dari bawah tidak mengalami efek bagi pejabat negara. Tentu saja melalui politik election yang demokratis.